Thursday, September 15, 2016

7500 miles away (part 1)


To Europe we go! Longest flight, to the furthest land we ever visited as a bunch. Liburan kali ini kami secara dadakan (dan ekstrim) memilih Swiss sebagai tujuan utama liburan. Diawali dari undangan sahabat yang tinggal di Geneva, berlanjut ke request cuti dan tanpa persiapan matang dan tanpa disangka-sangka berangkatlah kami ke Geneva. Kami berkunjung ke Geneva dan kota-kota di sekitarnya serta Amsterdam. You might been asking "tumben banget ke Eropa cuma ke situ? Biasanya sekalian ke Paris, Belgia, dll." Jawabannya supaya suatu hari ada alasan buat balik ke Eropa, kan masih banyak yang belum dikunjungi (pret. Padahal karena di tempat lain ngga ada tumpangan :p). So, what are the stories?

Visa Application
Lesson number one: jangan dadakan kalau mau liburan, terutama liburan yang butuh visa, termasuk Eropa. Proses pembuatan visa Schengen bisa dilakukan di semua kedutaan negara yang masuk dalam area Schengen yang ada di Indonesia. Yang paling laris adalah kedutaan Belanda. Kami awalnya mau bikin visa Belanda juga karena negara pertama yang kami kunjungi adalah Belanda (walaupun hanya transit). Tapi dikarenakan kebiasaan kami yang hampir selalu mendadak kalau mau liburan jadi pupuslah harapan kami bikin visa Belanda. Why? Karena proses pembuatan visa Belanda adalah 14 hari kalender atau 10 hari kerja tanpa bisa di nego. Tidak bisa di nego karena visa dikeluarkan oleh kedutaan besar Belanda di Kuala Lumpur, bukan di Jakarta. Jadi paspor pengurus visa akan dikirim ke Kuala Lumpur, kemudian proses pengambilan keputusan apakah visa kita diterima atau ditolak, baru paspor dikirim lagi ke Jakarta.

Kami yang baru memutuskan untuk berangkat h-21 sebelum tanggal keberangkatan kalang kabut mencari cara agar bisa mendapat visa dengan waktu yang lebih singkat. 5 working days for more precise. Bahkan waktu mau apply visa kami baru sadar bahwa Ayahnya Kira selalu butuh paspor untuk kerja, sedangkan kalau bikin visa kan paspor pasti ditahan. Untungnya lagi kebagian libur 5 hari kerja. Kami akhirnya mencari tahu soal visa Swiss dan menemukan secercah harapan. Proses pembuatan visa Swiss adalah 7 sampai 14 hari kalender namun bisa jadi lebih cepat. Bahkan (saya baca di blog orang) ada yang hanya membutuhkan 2 hari kerja. Kami akhirnya menelepon TLS Contact, agen resmi yang mengurus visa Swiss dan Perancis dan meminta agar bisa jadi dalam 5 hari kerja dan mereka bilang bisa! Asal semua persyaratan lengkap dan tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan proses pembuatan visa Swiss bisa jadi lebih cepat dari 7 hari.

Up in the Air
Lesson number two: bawa baju ganti dan popok agak banyak saat naik pesawat. Kami berangkat dari Jakarta dengan (tentunya) Garuda Indonesia ke Amsterdam. Perjalanan dimulai pukul 9 malam, transit di Singapura sekitar 1 jam, kemudian lanjut ke Amsterdam sampai jam 8.30 pagi waktu setempat. Kebiasaan saya, ngga pernah mau bawa barang banyak-banyak. Harus seringkas mungkin. Saya selalu membawa baju dan popok Kira sesedikit mungkin kalau berpergian. Jadi, karena perhitungan saya kami berangkat jam 9 malam dan landing jam 8.30 pagi (sama seperti jam tidur Kira setiap malam), saya hanya membawa satu piyama, satu pasang sweater + jeans (untuk dipakai di perjalanan Amsterdam-Geneva), dan 2 lembar popok karena biasanya kalau tidur malam Kira hanya ganti popok satu kali, jadi cukup bawa satu lagi untuk cadangan. Tidak ada yang salah dengan berusaha membawa barang seringkas mungkin, yang salah adalah, saya lupa mengkonversikan jamnya ke WIB. Jam 8.30 local time Amsterdam berarti sudah jam 13.30 WIB. Jadi kalau Kira bangun jam 7 WIB, masih ada 6,5 jam lagi sampai mendarat. Selama itu masa Kira hanya ganti popok satu kali? Akhirnya popok cadangan terpakai dan dengan was-was sepanjang sisa perjalanan berharap anak ini ngga pup. Nasib baju pun kurang lebih demikian. Karena risih melihat Kira pakai piyama terus selama 6,5 jam, jadilah Kira pakai baju yang semalam dipakai di bandara.
 
Untuk urusan makan (di pesawat maupun di tempat tujuan), karena Kira sudah satu tahun lebih, jadi sudah biasa makan makanan orang dewasa. Jadi saya lebih ngga khawatir. Apa yang saya makan saya kasih aja ke Kira. Tapi cemilan seperti biskuit dan susu selalu saya bawa, jaga-jaga kalau jam makan kami berantakan. Setidaknya Kira tidak kelaparan.

Lesson number three: pertimbangkan stroller yang bisa disimpan di cabin pesawat. Singkat cerita, liburan ini diawali dengan hilangnya stroller kesayangan di bandara Schipol. Disini saya akhirnya menemukan satu lagi kekurangan Aprica Karoon, yaitu tidak bisa dilipat jadi seukuran cabin size. Karena tidak bisa disimpan di cabin, jadi stroller kami masukkan ke cargo pesawat dan waktu baggage claim di Schipol strollernya ngga muncul-muncul sampai bagasi terakhir. Saya akhirnya merasakan betapa pentingnya stroller yang bisa dimasukkan ke cabin. Waktu lagi mengurus kehilangan bagasi, saya sampai reconsider mau cari stroller yang bisa dilipat jadi sebesar cabin size. Penting ya ternyata? So lesson number three, learned!

Perjalanan dari Amsterdam menuju Geneva dipenuhi suasana gundah gulana akibat hilangnya si Aprica. Untungnya ada baby carrier yang selalu menemani. Kami pun menjadi manusia-manusia kekar yang membawa beban 10kg kemana-mana selama di Geneva. Untungnya lagi, selama di Geneva kami bepergian dengan mobil, bukan kendaraan umum. Jadi lumayan lah, selama di dalam mobil tangan kami bisa istirahat.

Glimpse about Switzerland (Geneva)
By far, ini negara dengan living cost termahal yang pernah kami kunjungi. Menurut suami, harga barang-barang di Swiss bahkan bisa 2x lipat harga barang-barang di Inggris! Saya kira Inggris sudah paling mewah. Sebelum berangkat, beberapa teman yang sudah pernah mencicipi negara ini sempat menceritakan betapa mahalnya negara ini. Tapi kami kira mereka lebay. Ternyata memang lebay mahalnya! Makanan termurah yang bisa kami temukan adalah air mineral yaitu 1.80CHF untuk ukuran 500ml. Kurs waktu itu 1CHF sama dengan 13.900 rupiah. Jadiiii 25ribu rupiah buat 500ml air putih! Bener lebay sih. Termurah kedua jatuh kepada satu scoop gelato pinggir jalan seharga 3CHF (41rb rupiah). Selanjutnya kebab yang beli di pinggir jalan/pasar seharga 10CHF (139rb rupiah). Udah gilaa jajan-jajan doang sekali jajan 140ribu :" Langsung kangen Indonesia, asli! Kalau makan di restoran, udahlah lupain aja. Satu porsi paling murah 15.90CHF (221rb), rata-rata 20-50CHF (280-695rb!!!). Satu porsi. Satu! Ditambah budaya di sana tidak biasa makan sepiring berdua, jadi kalau kita masuk restoran berlima, cuma pesan makanan 4 porsi, pasti ditanya siapa yang ngga makan, dan dipaksa harus makan! Yhaaaa.

Untungnya kami tinggal di rumah teman yang selalu dimasakin masakan Indonesia hahaha. Jadi sebelum pergi kami selalu makan dirumah dulu. Jangan lupa bawa air mineral sendiri dari rumah, nanti kalau di tengah perjalanan habis bisa diisi di water fountain atau air keran. Saking ngga mau ruginya, kami sering pergi setelah sarapan, kemudian balik ke rumah cuma buat makan siang lalu baru jalan-jalan lagi! Hahaha. Untungnya yang punya rumah ikut jalan-jalan dan sangat menghindari makan di luar rumah juga, jadi mereka yang mengajak untuk balik ke rumah buat makan siang. Sang tuan rumah bahkan selalu nyebrang ke Perancis setiap kali belanja bulanan karena barang-barang di Perancis jauh lebih murah daripada di Swiss.

Suasana di Geneva itu rasanya semua orang mapan, damai, tentram, kaya ngga punya masalah. Apalagi masalah finansial. Kerja pun kaya ngga niat! Kalau di Indonesia toko-toko sudah buka mulai jam 9 pagi, di Geneva jangan harap menemukan toko/restoran bahkan supermarket yang sudah buka jam segitu. Masih terlalu pagi buat mereka. Toko-toko biasanya baru buka jam 12 itu pun akan tutup lagi jam 3 sore! Yang buka dari jam 12 sampai jam 8 malam biasanya cafe dan supermarket besar saja, selebihnya hanya buka pada jam makan siang. Daaan di hari minggu dan setiap libur nasional tidak ada SATU PUN toko yang buka. Supermarket besar pun tutup tup tup! Hanya cafe yang buka, itu pun setengah hari. Pada ngga butuh duit kayanya ya? Tidak heran kalau tour-package ke Europe biasanya ke Swiss hanya mampir sebentar. Selain karena mahal, jam operasional negara ini juga terbatas.

Kota Geneva sendiri sangat tertib dan teratur. Untuk public transport, ada bis dan tram yang jam operasionalnya lebih masuk akal daripada jam operasional resto/supermarket, jam operasionalnya dari pagi sampai larut malam. Namun jarak antara satu stasiun ke stasiun lain cukup jauh. Jadi, kalau naik public transport di kota ini, pasti akan melibatkan perjalanan kaki yang lumayan. Tapi karena cuacanya adem, jadi jalan kaki jauh-jauh pun ngga masalah (apalagi kalau ada stroller. huhuhu). Saking tertibnya kota/negara ini, ada peraturan bahwa setiap anjing peliharaan harus memiliki sertifikat pendidikan khusus kalau mau dibawa keluar rumah. Setelah saya perhatikan, anjing-anjing di jalanan Geneva memang tertib-tertib. Bahkan ada anjing yang tidak dipegangi tuannya saat mau menyeberang jalan, dia bisa berhenti di ujung zebra cross buat menunggu lampu untuk menyebrang berwarna hijau! Hebat. Tidak ada satupun anjing yang menggoggong saat di bawa berjalan-jalan oleh tuannya dan tidak ada yang membuang air sembarangan. Saya sampe malu sendiri, bahkan anjing pun tau aturan. Kita? Heheh

Satu hal yang menyebalkan di kota ini adalah jam parkir yang dibatasi. Ada yang cuma 15 menit, 30 menit, 2 jam, ada juga yang 24 jam dan 48 jam tapi hampir bisa dipastikan selalu penuh. Jadi, kami sebagai turis merasa rugi, karena sering harus mengakhiri jalan-jalan karena jam parkir sudah mau habis.

Where to go?
Objek wisata utama di Geneva adalah danau, the famous Lake Geneva. Hiburan utama di kota ini memang danau. Lake Geneva memang sangat besar. Butuh waktu setengah hari untuk mengelilingi danau ini dengan mobil. Karena kami mampir-mampir, jadi kami menghabiskan waktu satu hari untuk mengelilingi Lake Geneva. Daerah yang menarik untuk dimampiri saat berkeliling danau adalah Nyon, Vevey dan Montreux. Di Nyon, kita bisa melihat pemandangan danau dari ketinggian. Kalau di Vevey, pemandangan danau dinikmati bersamaan dengan pemandangan perbukitan "khas" Swiss. Di Montreux, ada patung Charlie Chaplin dan Chillon Castle. Sayangnya kami tidak sempat mampir ke kastil karena Kira sudah tidur pulas di mobil. Di sisi kota Geneva sendiri, ikon utamanya adalah Jet D'eau, air mancur yang tingginya melebihi tinggi monas. Selain itu ada Flower Clock, tempat Princess Syahrini nyebrang jalan sambil bikin video maju mundur syantik. Kedua objek wisata ini lagi-lagi ada di pelataran danau.

Nyon. (Kira cemberut karena di Jakarta sudah jam 9 malam)
Jet D'eau

Tenang, ada juga kok objek wisata selain danau, tapi yang paling terkenal ya memang danau. Ada old town Geneva yang memperlihatkan sisi sejarah kota ini. Ada juga markas besar PBB dengan monumen Broken Chair di depannya. Kita bisa ikut tur mengelilingi markas PBB di jam-jam tertentu. Selebihnya, pengunjung dilarang masuk.
Old town Geneva
Kalau belanja oleh-oleh, kami sih paling mentok beli coklat, karena hanya coklat yang harganya masuk akal. Selebihnya lumayan-lumayan, lumayan bikin melongo. Magnet tempelan kulkas yang biasanya turis langsung beli satu bungkus berisi 10 biji, kami cuma beli 2 biji karena harga satu buah tempelan kulkas sebesar jempol kaki paling murah 6.90CHF atau sama dengan 96ribu rupiah. Sebel.

Continued to the next part

No comments

Post a Comment

Powered by Blogger.

Popular

LATEST POSTS

© WANDER WITH KIRA
Maira Gall