Sunday, December 2, 2018

A whole new level of wandering with Kira!


Alkisah, berbekal pengetahuan dan kemampuan yang ala kadarnya namun ke-sotoy-an yang tinggi, saya nekat daftar master ke Belanda dan tinggal berdua Kira di sana karena suami tidak bisa meninggalkan pekerjaan di Indonesia. Motivasinya? (Di luar alasan idealis berbalut akademis) Not surpisingly, Kira! Selain buat nge-set standard yang lebih tinggi buat Kira, entah kenapa, saya selalu mau anak-anak merasakan pengalaman menjadi pendatang di negara orang supaya mereka punya pandangan yang luas tentang dunia --bahwa di dunia tidak melulu tentang dirinya dan kelompoknya. Bahwa di ujung belahan bumi yang lain, ada wawasan yang baik. Bahwa segala kebaikan, tidak hanya berasal dari kelompoknya, tapi bisa dicari di tempat lain. Dan yang penting, bagaimana caranya mempertahankan kebaikan nilai-nilai yang sudah ditanamkan nenek-moyangnya saat mengadopsi kebaikan dari sumber baru. Pengalaman dan pemahaman seperti ini yang saya rasa sulit ditanamkan kalau kita tetap berada di zona nyaman tanah air. We have to go somewhere! (Walaupun cuma satu tahun dan Kira masih 3 tahun, jadi mungkin pas masuk SD juga udah lupa, setidaknya ibunya inget, jadi semoga yang baik2 tetap bisa dipertahankan).


Why Netherlands?
Waktu mengunjungi Belanda tahun 2016, saya mendadak jatuh hati dengan perilaku masyarakat sini. Ramah, helpful, menghargai orang lain, menganggap semua orang punya derajat yang sama. Saya merasa Belanda sangat ramah terhadap pendatang. Tentu, saya mau di lain waktu, Kira dapat menghargai, membantu dan berinteraksi dengan orang lain dari dalam maupun luar kelompoknya the way the Dutch do it! Serius tapi sambil ngelawak, helpful, ramah, peduli tapi nggak kepo, nggak ada "kasta" invisible (profesor & janitor Belanda kalo lagi ngopi bareng kayak sahabat lama baru ketemu setelah puluhan tahun!), dan banyak hal lain yang saya rasa bisa di adopsi oleh Kira (dan saya) agar dapat menjadi warga dunia yang lebih menyenangkan.

Alasan lain, karena barrier bahasa di Belanda dengan negara lain yang basic bahasanya non-inggris cenderung kecil. Semua orang di Belanda (paling ngga di kota2 besar) dari supir bus, penjaga parkiran sepeda, pedagang di pasar, siapa pun lancar berbahasa inggris. Jadi aman. Alasan selanjutnya, karena banyak makanan & mahasiswa Indonesia di Belanda. Sebagai manusia rapuh yang sok-sok-an bawa anak hidup berdua di negara orang, saya butuh support system. Ya apa lagi support systemnya selain mahasiswa Indonesia? Terbukti, teman saya sering jadi korban jadi nanny dadakan buat Kira :p (credits to Divani A. Lovian & Mbak Ria Maya Sari). Alasan berikutnya (tapi sejujurnya ini alasan utama), karena Ayahnya Kira frequent terbang ke Belanda, jadi sebulan sekali atau 2x bisa ke Belanda. Ya lumayan buat setor martabak terang bulan. Satu lagi, karena topik spesialisasi yang saya minati ada disini. All in one package. Cocok. Cus.

Enrollment
Sejujurnya ini ngga bisa digambarkan dengan kata-kata, karena kalau ditulis terbaca mudah sekali, padahal ampun-ampunan. Segala drama bermula dari sini. Ada yang sudah keterima universitas, ga dapat beasiswa, ada yang dapat beasiswa duluan, malah ga keterima universitasnya, atau ada syarat krusial yang kurang. Ada yang bermasalah sama visa, housing, deeeeuuuuhh asleee dah. Saya kalau ngga dibantu suami sih akan menyerah sebelum berperang. Lelah mental.

Intinya begini:
1. Cari universitas dan spesialisasi yang diminati. Di website kampus lengkap informasi persyaratan, cara pendaftaran, dll. Semua pendaftaran dilakukan online.
2. Buat akun pendaftaran, penuhi semua persyaratan, kirim (Nah kan kayak gampang. Padahal saya sendiri butuh 1 tahun buat menyelesaikan semua persyaratan)
3. (Kalau butuh) Daftar beasiswa, ikuti segala proses dan kerempongannya. Ini saya ngga bisa cerita panjang karena ada berbagai macam penyedia beasiswa dengan proses seleksi yang berbeda-beda, tapi semua punya dramanya masing-masing.
4. Buat visa. Ini juga drama. Yang lebih drama bikin visa Kira sih. Proses pembuatan visa Kira saya ceritakan di artikel terpisah ya. Kalau visa studentnya sendiri (biasanya) ditangani universitas, jadi saya tinggal kirim persyaratan ke universitas, mereka yang mengajukan ke imigrasi Belanda. Jadi saya tinggal tunggu approval, datang ke kedutaan buat menyerahkan paspor dan pasfoto, tunggu kurang lebih 1-2 minggu, jadi deh.
5. Cari housing. Lebih drama lagi. Jumlah housing di Leiden tidak sebanding dengan permintaannya. Jadi, banyaaakkkk sekali mahasiswa yang berujung homeless selama 1-2 bulan, kebanyakan international students yang berasal dari negara EU karena student housing di prioritaskan untuk mahasiswa dari luar EU. Tapiii, jangan sedih, yang dari luar EU pun banyak yang ditolak student housing karena kuota. Saya pikir cuma saya yang ditolak karena bawa anak, ternyata teman-teman Indonesia yang jomblo pun banyak yang homeless. Cari housing dan bikin visa adalah tantangan pertama yang sudah dihadapi dari masih di tanah air. Jadi, siapkan mental untuk menghadapi drama dari hari pertama mendaftar.

Daily life
Don't ask. My daily routine is not even a routine, alias berantakan! Apa yang perlu dikerjain ya dikerjain. Kalo lagi ada deadline tugas ya ga beberes sampe Kira protes kamarnya kotor (padahal dia juga yang berantakin), ga nyuci sampe pas mau pergi bingung pake baju apa ujung2nya ngambil baju dari keranjang kotor, ga masak, Kira makan nasi-abon atau roti-keju, saya makan apa aja sisaan Kira. Kalo lagi ga ada deadline, eh ga pernah deng, selalu ada. Jadi ya berantakan terus hidup kita.

Buat ancer-ancer, kurang lebih begini nih: bangun pagi - siap2 (kadang mandi kadang ngga. jangan lupa pake drama, ya ga sengaja numpahin susu lah, ya mau siapin buah buat dibawa Kira sekolah pas dibuka buahnya busuk padahal belum ada supermarket yang buka, ya kartu langganan bis keselip, ya segala drama pokoknya) - berangkat pagi buta, kalo dingin Kira kadang cranky minta gendong, gendong Kira sambil bawa gembolan + ransel + payung ke halte - naik bus - sepedaan ke sekolah Kira (yang ngambil sepeda di parkirannya kadang kayak pulang perang, keluar parkiran sering lecet2) - sepedaan ke kampus - kuliah atau nongkrong ngejar deadline - jemput Kira - kembali ke kampus bersama Kira kalau ada tugas kelompok atau thesis meeting - ngejar bis - Kira ketiduran di bis - kadang dibangunin (tapi abis itu rewelnya menguras emosi) kadang digendong dari halte sampe ke depan pintu rumah (7-10 menit jalan kaki) lanjut naik tangga sampe lantai 4 - sampe atas Kira bangun (MARAH GAK) - baru inget belum makan siang - masak - makan sore merangkap malam - ngerjain tugas - nidurin Kira - tugas lagi - tidur, Alhamdulillaaaahhh berakhir hari ini. Besok ulang lagi. Tambahin vacuum + ngepel rumah kalo ada waktu dan ada niat.

Kalau harus mengejar deadline hari Senin (yang tugasnya harus dituntaskan pas weekend), mendadak jadi manusia paling handal multitasking. Mengetik tanpa melihat karena ngetik sambil rambutnya disisir-sisir Kira sampe nutupin mata, ngetik sambil digelendotin punggungnya sampe jarak antara mata dan layar laptop kurang lebih 10cm saja, sampe hidung nempel di layar pun pernah, lagi asoy ada inspirasi mendadak bisa ngetik panjang tiba-tiba ada yang tumpah atau Kira kebelet pup sehingga membutuhkan penanganan segera, lalu membutuhkan 1-2 jam tambahan buat cari inspirasi atau niat baru, menantang pokoknya dahhh. Coba saja sendiri.

Di awal kedatangan Kira, kita berdua sempat sakit di waktu yang bersamaan. Jangan ditanya rasanya gimana. Clueless dan tidak berdaya. Sejatiya, Kira sakit akibat saya sakit duluan. Karena saya sakit, pola makan Kira makin berantakan. Saya bahkan ngga sanggup bawain bekal ke sekolah. Akhirnya pas sampe rumah Kira mengeluh sakit perut dan lanjutkan sendiri. Ngurusin anak pas lagi sama-sama sehat aja luar biasa kan? Ini ngurusin anak sakit di saat ibunya juga sakit. Mantav ngga tuh? Untung waktu itu masih ada Mayang (neneknya Kira), kalo ngga ada Mayang entah apa yang akan terjadi pada sepasang ibu-anak nekat ini.

Di bulan pertama, tenaga saya terkuras habissss biiisss. Tiap sampe kasur rasanya segan menyambut esok hari. Tapi setelah lebih terbiasa dengan ritmenya ya lumayan laahh. Di bulan kedua gendong anak hampir 20kg mendaki 50 anak tangga rasanya cengceremen. Pulang dari sini aku tidak hanya jadi Master of Science tapi juga Master Corbuzier. Sama kak ototnya.

In the campus
Enaknya kuliah di Belanda, semua orang di kampus kooperatif banget dengan keadaan kita. Awalnya saya segan banget bawa Kira ke kampus, ngga enak sama temen kelompok atau thesis supervisor. Tapi karena Mayang tidak selamanya di Belanda (whyyy), jadi waktu masih ada Mayang, Kira saya tinggal, tapi sambil approach ke orang2, kasihtau bahwa saya punya anak dan hanya tinggal berdua di Belanda, mungkin di beberapa pertemuan saya harus bawa anak karena pertemuannya ngga di jadwal sekolahnya (jadwal sekolah nanti dibahas lebih lanjut). Alhamdulillah, semua menyambut baik. Pesan thesis supervisor hanya satu: boleh dibawa asal anaknya tidak terlalu distracting. Wheeeww menantang. Akhirnya sebelum launching bawa Kira ke kampus pertama kali, dari 2 hari sebelumnya saya udah sounding nanti di kampus harus tenang, ngga boleh berisik, kalo ngomong pelan2. Hari pertama ikut ke kampus bekalnya luar biasa banyak. Bekal buat nyumpel mulutnya supaya diem maksudnya. Termasuk pensil warna dan ngeprint coloring page frozen di kampus.

Muka berhasil melewati pertemuan pertama di kampus


Ganggu orang thesis meeting

Berkeliaran di kampus

Overall, "bekal" yang saya bawa berhasil menyumpel mulutnya Kira. Alhamdulillah anak ini juga pelor, kalau sudah jam tidurnya, instead of rewel, dia cukup menempelkan bokong dimana saja lalu sleep. Kira sering banget tidur siang di kampus, mostly di pangkuan saya. Warga kampus menyambut baik kehadiran anak kecil. Walaupun awalnya saya ragu karena ngga ada yang bawa anak kecil sama sekali, ternyata semua orang welcome. Justru mungkin karena Kira satu-satunya anak di kampus, jadi mainan semua orang. Atau karena basically orang Belanda segitu welcome dan suportifnya? Entah. Yang jelas semua yang papasan sama Kira cengar cengir, ngga ada yang menunjukkan rasa terganggu atau judging. Ngga jarang, Kira diajak ngobrol sama dosen atau karyawan, dikasih permen sisa halloween, lollipop, atau si dosen ikut mewarnai. Sangaaattt mengurangi beban emak-emak sotoy semacam saya.

Kalau kelas wajib otomatis saya harus cari tempat "penitipan" buat Kira. Opsi awal adalah playgroup umum Belanda, atau daycare. Tapi daycare mahal sekaleee dan ternyata anak harus di daycare selama 7 jam di hari yang sudah di daftarkan. Saya pikir tadinya bisa pas jam-jam saya kuliah aja, ternyata harus satu hari full. Padahal tarifnya per-jam. Harus puasa daud apa gimana? Jadi Kira sekolah di playgroup umum Belanda, satu hari 3 jam (Senin Jumat 08.45-11.45, Selasa Kamis 12.45-15.45). Nah ini Alhamdulillah cocokkk banget sama jadwal kuliah saya (Senin 09.00-11.00, Selasa 13.00-15.00, Kamis 13.00-15.00, Jumat 09.00-11.00). Bisa pas gitu gimana nge-pas-innya? Semua atas kehendak Allah alias saya juga ngga tau kenapa bisa begitu. Waktu mau daftar, saya telepon ke lembaga sekolahnya dan tanya sekolah itu (yang paling dekat dari kampus) ada jadwal jam berapa aja, dan langsung passss semua! Ada satu kelas yang ngga cocok sama jadwal sekolah Kira, tapi saya minta pindah ke kelas lain yang jadwalnya sesuai. Dosen-dosennya sangat kooperatif dan benar-benar mempertimbangkan aspirasi mahasiswa, jadi dengan mudahnya saya dipindah ke kelas yang jadwalnya cocok sama sekolah Kira. Jadilah saya "menitipkan" Kira di playgroup umum Belanda. Tapi kalau anak di bawah 3 tahun terpaksa harus di daycare, karena belum bisa dimasukkan ke playgroup. Kalau sudah di atas 4 tahun lebih enak lagi, karena sekolahnya fullday dari jam 08.45 sampai 15.00. Puassss deh tuh ibunya kuliah atau beberes.

Enaknya di Belanda gitu, kalau ada kesulitan atau hal2 yang memberatkan studi, tinggal bilang ke dosen pengampu, pasti dibantu. Kalau ngga bisa ketemu solusi yang kita harapkan, pasti akan dicarikan solusi yang paliiiiing mendekati sempurna. Dan, seperti yang saya bilang sebelumnya, tidak ada "kasta" di Belanda, jadi di sini, dosen sama mahasiswa kayak teman. Diskusi di kelas nggak terasa seperti diskusi formal di kampus yang di supervisi. Dosennya ikutan diskusi, ngga bertindak seperti yang Maha Tau, malah sering minta pendapat mahasiswa, kayak diskusi sama teman deh! Suasana diskusi jadi nyaman dan bikin betah. Kadang ngga mau udahan, tapi harus jemput Kira.

Kadang, ada juga kelas "darurat" dimana jadwal kuliah tiba2 dipindah ke hari atau jam lain. Kalau ini sudah terjadi, rekan PPI to the rescue! Titiip deh ke teman yang lagi kosong jadwal kuliahnya. Kalau terpaksa, bilang ke dosen pengampu bahwa karena perubahan jadwal, saya kemungkinan harus bawa anak ke kelas. Biasanya, kalau tidak terlalu mengganggu mereka mengizinkan. Pilihan lain, bisa sewa nanny yang dibayar per-jam. Ada websitenya sendiri untuk pilih & kontak nanny-nya. Tapi harus di kontak satu minggu sebelumnya. Jadwal kuliah selalu keluar satu minggu sebelumnya kok, tenang. Tapi saya menghindari opsi ini karena lebih repot dengan urusan bahasa. Membayangkan Kira yang fasihnya bahasa Indonesia dan bahasa tubuh dijaga oleh orang yang berbahasa Belanda atau Inggris kayaknya rempes. Belum lagi tarifnya lumayan. Sebisa mungkin ini opsi terakhir deh.

Additional notes
Catatan tambahan untuk yang berniat bawa anak kuliah di Belanda, first and foremost: biaya jadi dobel! Asleee berasa banget perbedaan pengeluaran sebelum dan sesudah Kira datang (sebulan pertama Kira dititip ke Mayang supaya ibunya bisa adaptasi & beberes dulu). Jadi kalo ada rencana kuliah bawa bocah, mungkin harus mulai colong start nabung jauh-jauh hari, apalagi beasiswa untuk mahasiswa master jarang sekali yang memberi tunjangan keluarga. Selain pengeluaran uang, pengeluaran tenaga juga dobel! Jadi siapin kekuatan fisik & mental 3-4x lipat. Ingaaaat, Anda akan menjadi single fighter!

Oh ya! Yang nggak kalah penting, mungkin ada baiknya orang tuanya berangkat lebih dulu daripada anaknya, karena kita clueless waktu pertama kali sampai di tempat studi: ngga tau kondisi rumah kita bakal seperti apa, kuliahnya gimana, lingkungan rumahnya gimana, dll. Seperti saya, waktu saya sampai, ternyata bagian kamar & kamar mandi saya baru selesai di renovasi, bahkan beberapa bagian belum selesai. Kebayang ya debunya ruangan baru di renovasi, masih bau cat, harus di pel sehari 2x buat menghilangkan debunya. Akan sangat handy jika tidak ada toddler berkeliaran di sekitar kita. Jadi saran saya, jika memungkinkan, tega-tegain tinggalin anak di keluarga atau orang tua selama 2-3 minggu buat adaptasi, "beresin" rumah, cari sekolah, dll. Saya ngga kebayang sih kalau Kira ikut berangkat bareng saya repotnya kayak apa. Plus, sekolahnya ngga bisa langsung masuk. Minimal 1 minggu setelah anak sampai baru bisa masuk sekolah, itu pun kalau sudah didaftarkan terlebih dahulu. Kalau dari pendaftaran pertama sampai masuk sekolah kurang lebih 2 minggu sampai 1 bulan, tergantung ketersediaan tempat.

Catatan berikutnya, (ini khusus buat di Belanda, khususnya Universitas Leiden), kampus tidak menyediakan housing untuk mahasiswa master yang membawa anak. Jadi, deritamu, cari sendiri tuh rumah sampe depresi. Ini sungguh bikin depresi karena susahnyaa ampun-ampunan. Kebanyakan, properti yang mengizinkan ada anak2, penyewa utamanya harus expat, ngga boleh mahasiswa. Kalau properti untuk mahasiswa, tidak boleh ada anak2. Lalu, harus sewa hotel kah aku? Hasil curhat di group fb, akhirnya ada gadis baik hati yang menawarkan lantai atas rumahnya buat saya & Kira.  Awalnya saya masih kurang sreg karena rumahnya sharing sama pemilik rumah. Tapi setelah mengalami sakit berbarengan dengan Kira, sepertinya tinggal serumah dengan orang lain (apalagi buat ibu2 yang cuma berudaan sama anak) justru ide yang lebih baik! Karena jadi ada bala bantuan kalau kenapa2. Kenapa2 di sini bisa emergency yang beneran emergency, atau emergency dungu seperti: lupa bawa kunci rumah, karena slot pintu di sini kebanyakan otomatis mengunci, baik pintu unit maupun pintu utama (lobby). Jadi kalau lupa bawa kunci rumah, aman, maling ngga bisa masuk. Tapi yang punya rumah juga ngga bisa masuk. Kisut lah Anda luntang-lantung di luar dingin-dingin. Kalau ada housematenya kan lumayan, tinggal pencet bel.

Catatan lain: siap-siap ngerepotin orang! Ya tentu, pasti akan ngerepotin orang. Langgananku buat di repotin ya Divani dan Mbak Ria yang sudah kusebutkan di atas. Pokoknya siapin mental buat ngerepotin orang ya. Jangan lupa dari sebelum berangkat di list juga kisaran orang-orang yang bisa direpotin.

Ini diaa si tante yang patut mendapat credit khusus karena menjadi target pertama untuk menjaga Kira. Urutan foto: Koneng - Gempita - Gisel
Ekspresi si tante sangat menggambarkan kehidupannya saat menjadi pengasuh


Little tips
In sum, beberapa poin yang bisa saya highlight untuk bertahan hidup bersama toddler sambil kuliah di Belanda adalah:
1. Harus bisa naik sepeda, kalo ngga bisa, ngga akan bisa ngejar kelas setelah nganter anak sekolah.
2. Cari rumah yang sharing dengan orang lain. Akan sangat membantu kalau kita sakit atau ada hal-hal lain yang bikin kita nggak se-fungsional biasanya. Lebih bagus lagi kalau dapat rumah di lantai dasar, sangaaaatttt signifikan tenaga yang harus dikeluarkan dibanding kalo rumah di loteng. Selain gotong anak, gotong belanjaan kalau habis belanja mingguan ke supermarket juga berasa bok kalo diangkut ke loteng.
3. Kalau memungkinkan, berangkat lebih dulu untuk adaptasi & membereskan segala urusan.
4. Cari support system. Dari PPI masing2 kota sudah cukup membantu sih. Lebih enak lagi kalo bisa nemu sesama pelajar yang bawa keluarga, akan sangat terasa hangat dan akrab karena akan saling membutuhkan bantuan!
5. Sebelum daftar ke universitas juga sebaiknya cari mahasiswa Indonesia yang sedang atau sudah menyelesaikan studi di program itu. Tanya sejelas-jelasnya soal jadwal kuliah, programnya, dll. Ini penting buat mengira-ngira kemungkinan menitipkan anak dimana kalau pas jadwalnya kuliah. Ada program yang seharian full terus, kalau kayak gitu, harus consider opsi menitipkan anak di daycare atau mulai studinya setelah si anak berusia 4 tahun, di usia sekolah basisschool (TK & SD) dengan jadwal sekolah dari pagi sampai sore.
(Special credit untuk Mbak Zafira, andalanku untuk ditanya-tanya, senior waktu S1 dan kebetulan ambil program spesialisasi yang sama di Leiden, jadi kuserap segala ilmunya, muahaha).
6. Komunikasikan kondisi kita ke dosen pengampu, bisa dengan bertemu langsung atau melalui email. (Kalau di Belanda) Semua kesulitan kita akan dibantu sama mereka, jangan khawatir.
7. Tetap lakukan hobi atau refreshing biar ngga stress. Hobi saya traveling, tapi jadwal sepadat jalanan Jakarta di hari jumat sore, jadi lupakan. Hobi selanjutnya nonton film, tapi jangankan nonton di bioskop, langganan netflix aja sia-sia, ngga kepake. Hobi ketiga: tidur, ya suliiiit. Lupakan. Hobi selanjutnya adalah makan. Bagus. Ini satu-satunya hobi yang masih bisa dilakukan disela kesibukan. Jadilah saya makan sebanyak-banyaknya biar ngga stress.

Sudah panjang kayanya. Dilanjut di post-post lainnya terutama terkait visa dan sekolah Kira ya. Semoga bermanfaat dan menjadi penguat motivasi bagi ibu-ibu sotoy lainnya bahwa lanjut studi bersama anak itu mungkin! Bikin gila sih, tapi mungkin! I consider mothers are the strongest creature God ever created. Since God made us strong, so be it! Pursue anything you wish, strong mamas!

XOXO,
(Ibunya) Kira

4 comments

  1. Cuakep! So proud of you, mamaknya Kira (dan Kira juga)!

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  3. Lucky Creek Resort & Casino - Biloxi, MS
    LUCKY CREEK 창원 출장마사지 RESORT & CASINO in 계룡 출장샵 Biloxi, MS 양산 출장안마 at 2806 South Ave. Lucky Creek Casino is open every Monday 청주 출장마사지 through Thursday from 속초 출장안마 10am - 11am

    ReplyDelete

Powered by Blogger.

Popular

LATEST POSTS

© WANDER WITH KIRA
Maira Gall